Pementasan Teater Lakon Yusuf Sang Westernis

0 komentar


Pementasan teater Kafha Paramadina tanggal 6-7 Mei 2014 yang menampilkan drama saduran dari buku Novriantoni Kahar yang bertajuk “Imaji Cinta Halima” tepat sekali ditafsirkan sebagai berteater dan berpolitik.

Bukan tanpa alasan hal di atas disebut dan dinyatakan secara tegas. Siapa yang bisa menampik bahwa berteater adalah berpolitik, lebih tepat sebagai politik bahasa. Ketika bahwa dalam buku puisi essay disadur dan digelar kembali menjadi sebuah drama maka kata bertransformasi tidak hanya dipahami dalam level kognisi saja tapi masuk pada relung emosi dan tindakan. Bahasa tidak hanya dipahami sebagai rentetan huruf saja tapi sudah berubah menjadi mantera sastra dan letupan emosi yang membuncah dan terlihat dalam mimik muka, gesture dan gerak tubuh yang lain. 

Hanya memang dalam rangkaian plot yang begitu sederhana dan linear, rangkaian kata dan mantera sastra tersebut tidak menemukan titik-titik emosi yang seharusnya bisa dieksplor lebih jauh. Apakah memang Syech Besar Kafrawi tidak mampu lagi menerjemahkan kemarahan meluap-luap kepada Yusuf (anaknya)? Seorang Syech Besar dengan tingkat kedalaman spiritual yang begitu mendalam seakan “galau besar” menangani anaknya sendiri. Tidak adakah dinamika regresi antara tingkat kedalaman rohani dengan cara verbal dalam mengekspresikan amarah yang begitu besar? Apakah tidak cukup dengan permainan wajah dan mimik muka saja untuk menunjukkan amarah ketika harus berbicara:
“,islam tidak harus menyesuaikan zaman. Zamanlah yang harus mengalah pada ajaran kita. Jika islam harus menyesuaikan dengan zama di mana letak kemurnian ajarannya? Sejak dahulu Islam tidak pernah berubah….cobalah telaah sejarah….!”
 
(Picture by : Parmagz)

 


Posting Komentar