Oleh:
Reni Oktari
Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi
Universitas Paramadina
oktari.reni@gmail.com
Sari Riantika Damayanti
Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi
Universitas Paramadina
sarisyahrial@gmail.com
Abstrak
Bahasa
dapat dikatakan sebuah sistem simbol. Ia merupakan perwujudan budaya yang
digunakan untuk saling bertukar informasi. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa
bahasa merupakan subordinat dari kebudayaan, dimana ia masuk sebagai salah satu
unsur kebudayaan. Bahasa memiliki banyak ragam. Kemudian, ketika teknologi
mulai membaur dengan bahasa maka varietasnya pun terpengaruh. Fenomena bahasa
gaul menjadi fenomena gandrung sekarang ini. Ia menjadi salah satu bahasan yang
terkait dengan hubungan kausal antara teknologi dan bahasa. Makalah ini akan
menjelaskan deskripsi singkat mengenai fenomena bahasa sebagai wujud kebudayaan dan situasi bahasa
di masa kini melalui perspektif budaya, linguistik dan teknologi.
Bahasa sebagai Salah Satu Unsur
Kebudayaan dalam Perspektif Koentjaraningrat
Menurut
Koentjaraningrat kebudayaan memiliki tujuh unsur yang dapat ditemukan pada
semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi pokok
dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah: (1). Bahasa, (2). Sistem Pengetahuan,
(3) Organisasi sosial, (4). Sistem Peralatan hidup, (5). Sistem mata
pencaharian hidup, (6). Sistem religi, (7). Kesenian.[1] Berdasarkan
hal tersebut maka dapat dikatan bahwa bahasa bagian dari kebudayaan, jadi
hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di
mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan.
Bahasa
adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling
berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan
(bahasa isyarat). Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat
istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan lain sebagainya. Bahasa
memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi
khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi,
berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial.
Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam
pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah
kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut
Koentjaraningrat, bahasa juga menjadi salah satu yang dapat menjelaskan
kerangka etnografi selain lokasi, lingkungan, alam dan demografi, asal mula dan
sejarah suku bangsa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi
sosial, sistem pengetahuan serta kesenian dan sistem religi yang pada akhirnya
dapat menyusun sebuah karangan kebudayaan suatu suku bangsa. [2] Ia juga
mengatakan bahwa ciri-ciri menonjol dari bahasa suku bangsanya dapat diuraikan
pengarang etnografi dengan cara tepat menempatkannya dalam klasifikasi
bahasa-bahasa sedunia pada rumpun, subrumpun, keluarga, dan subkeluarga
bahasanya yang wajar dengan beberapa contoh fonetik, fonologi, sintaksis, dan
semantik yang diambil dari bahan ucapan bahasa sehari-hari dan juga dilengkapi
daftar kata-kata dasar dari bahasa suku bangsa yang terdiri dari sekitar 200
kata mengenai anggota badan (kepala, mata, hidung, mulut, tangan, kaki dan
sebagainya), gejala-gejala dari badan-badan alam (angin, hujan, panas, dingin,
matahari, bulan awan, langit dan sebagainya), warna, bilangan, kata kerja pokok
(makan, tidur, jalan, duduk, berdiri dan sebagainya).
Bahasa
dari suku bangsa, terutama pada suku bangsa yang besar, yang terdiri dari
berjuta-juta penduduk selalu menunjukkan suatu variasi yang ditentukan oleh
perbedaan daerah secara geografi maupun oleh lapisan serta lingkungan sosial
dalam masyarakat suku bangsa tadi. Dalam bahasa Jawa misalnya, jelas ada
perbedaan antara bahasa Jawa yang diucapkan oleh orang Jawa di Purwokerto, di
daerah Tegal, di daerah Surakarta, atau di Surabaya. Perbedaan-perbedaan bahasa
khusus seperti itu oleh para ahli bahasa disebut perbedaan logat atau dialek (dialect). Perbedaan bahasa Jawa juga
mencolok sekali. Bahasa Jawa yang dipakai oleh orang di desa atau yang dipakai
dalam lapisan pegawai (priyayi), atau
di dalam istana (keraton), para
kepala swapradja di Jawa Tengah, jelas berbeda. Perbedaan bahasa menurut
lapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan disebut tingkat sosial bahasa
(social levels of speech). Walaupun
tidak semua bahasa di dunia melibatkan pembedaan menurut tingkat sosial seperti
bahasa Jawa namun di beberapa negara hal tersebut sering terjadi. [3]
Bahasa
dalam Kajian Linguistik
Bahasa
merupakan sistem simbol yang digunakan oleh komunikator untuk mengkonstruk dan
mentransfer informasi (Findlay, 1998: 103). Sedangkan Ferdinand de Saussure (1916, dalam Chaer dan
Agustina 2010: 2) menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga
kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti
perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya.
Ferdinand de Saussure (1916, dalam
Chaer dan Agustina 2010: 30-31) membedakan antara yang disebut langage, langue, parole. Ketiga istilah yang berasal dari bahasa
Perancis itu lazim dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Padahal
ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya memang
sama-sama bersangkutan dengan bahasa.
Dalam bahasa Perancis, istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa
sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Langage ini bersifat abstrak. Barangkali istilah langage dapat dipadankan dengan kata
bahasa seperti terdapat dalam kalimat “Manusia mempunyai bahasa, binatang tidak”. Jadi, penggunaan istilah bahasa dalam
kalimat tersebut, sebagai padanan kata langage,
tidak mengacu pada salah satu bahasa tertentu, melainkan mengacu pada bahasa
umumnya, sebagai alat komunikasi manusia. Binatang juga melakukan kegiatan
komunikasi, tetapi alat yang digunakan bukan bahasa.
Istilah kedua dari Saussure yakni langue dimaksudkan sebagai sebuah sistem
lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk
berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Jadi, langue mengacu pada sebuah sistem lambang bunyi tertentu yang
digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu, yang barangkali dapat
dipadankan dengan kata bahasa dalam kalimat “Nita belajar bahasa Jepang, sedangkan Dika belajar bahasa Inggris”. Sama dengan langage
yang bersifat abstrak, langue juga
bersifat abstrak.
Berbeda dengan langage dan language,
maka parole bersifat konkret karena parole itu merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan
yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau
berkomunikasi sesamanya. Parole di
sini barangkali dapat dipadankan dengan kata bahasa dalam kalimat “Kalau beliau
berbicara bahasanya penuh dengan kata
daripada dan ken”. Jadi, parole itu
tidak bersifat abstrak, melainkan nyata ada dan dapat diamati secara empiris.
Perlu dicatat, yang menjadi objek studi linguistik adalah langue, sebagai suatu sistem bahasa tertentu, tetapi dilakukan
melalui parole. Hal ini dikarenakan parole dapat diobservasi secara empiris.
Secara
formal, bahasa memiliki sistem kode yang terdiri atas tiga level yaitu (1) content atau semantic, merupakan konten atau makna kontekstual dalam bahasa; (2)
form atau lexicogrammar, merupakan aturan/pola logis dan koheren kata menjadi
kalimat dalam bahasa atau disebut juga sintaksis; (3) expression atau phonology merupakan pola pengkodean
(suara atau simbol) yang membentuk bahasa (Dictionary of Media Studies, 2006:
173; Findlay, 1998: 103; Halliday, 1993: 187).
Ahli antropologi dan ahli bahasa
sudah sejak lama bertanya-tanya tentang kondisi evolusioner macam apa yang
telah menstimulasi kemunculan bahasa manusia. Beraneka teori dihasilkan namun
tidak ada satupun yang menghasilkan penjelasan definitif. Kapan dan dimana
bahasa manusia pertama kali berkembang pun tidak dapat dipastikan (Findlay,
1998: 138-141). Asal usul bahasa pun masih simpang siur. Ada yang mengatakan
bahwa bahasa berasal dari satu induk bahasa, ada pula yang mengatakan bahwa
berasal dari beberapa bahasa.
Menurut studi linguistik, anggapan
bahwa bahasa berasal dari satu sumber disebut sebagai pendapat yang mengikuti
teori monogenesis. Itu lawan dari teori poligenesis yang berpendapat bahwa ada
lebih dari satu sumber bahasa induk. Entah apa sebabnya, banyak orang yang
cenderung mempercayai teori monogenesis. Mungkin karena tingkat religiusitas
yang tinggi dari nenek moyang terdahulu, terutama dalam mempercayai kisah Adam
dan Hawa. Teori monogenesis mengarahkan banyak orang untuk membuat pembuktian
dan penelitian tentang asal-usul bahasa dari satu sumber. Karena itulah,
penelitian cenderung dipusatkan untuk mencari bukti persamaan ciri linguistik
dari elemen milik bahasa yang berbeda-beda (Purwoko et al, 2004: 6).
Bahasa
dan Ragam Bahasa
Haugen (1974, dalam Purwoko et al:
2004) mengajukan hipotesis bahwa bahasa manusia akan berubah apabila para
penutur secara geografis terpisah dari
kelompok induk. Sebaliknya, selama para penutur tinggal di suatu tempat, mereka
cenderung mempertahankan bahasa yang sama. Dengan kata lain, Haugen
mengungkapkan bahwa faktor perpindahan penduduk mempengaruhi kekacauan bahasa, bukan sebaliknya.
Apabila ada sebuah komunitas linguistik terpecah belah dan para penutur
berpencar ke berbagai daerah yang terpisah, mereka akan menciptakan dialek
regional yang berbeda pula. Apabila jurang perbedaan semakin lebar maka lambat
laun dialek mereka berubah menjadi bahasa
yang berbeda dari bahasa induk. Perbedaan inilah yang disebut dengan ragam
bahasa.
Ragam bahasa adalah ketika terdapat
perbedaan dalam berbahasa baik itu pelafalan, bentuk grammar, maupun makna (Findlay, 1998: 117). Terdapat dua jenis
variasi atau ragam bahasa yaitu: dialek (ragam berdasar pengguna), dan register
(ragam berdasarkan kegunaan). Konsep kerangka kerja yang berpandangan bahwa
bahasa memiliki ragam merupakan konsep yang memandang bahasa sebagai institusi (Halliday,
1993: 183).
Dialek merupakan ragam bahasa
berdasarkan referensi si penutur: dialek kita berbicara merupakan fungsi dari
siapa kita. Dialek adalah apa yang kita bicarakan (kebiasaan) menunjukkan siapa
kita (sosio-region, asal usul), dan menunjukkan keberagaman struktur sosial
atau pola hirarki sosial. Jadi, secara prinsip, dialek merupakan cara-cara yang
berbeda untuk menyebutkan hal yang sama (Halliday, 1993: 35, 157, 183).
Register merupakan ragam bahasa
berdasarkan konteks sosial, yaitu apa yang sedang kita lakukan dan dalam
situasi bagaimana saat kita berbicara. Register juga menunjukkan keberagaman
proses sosial – misalnya pekerjaan (Halliday, 1993: 35, 157, 185).
Para ahli menyebutkan bahwa ada lima
faktor penting yang menyebabkan pembentukan sebuah dialek atau bahasa baru yang diturunkan dari sebuah bahasa
sumber milik komunitas yang sama. Kelima faktor tersebut bersifat (1) regional,
(2) sosial, (3) historis, (4) profesional, dan (5) kontak bahasa (Purwoko et
al, 2004:10-18).
Faktor regional membuat sebuah
bahasa berubah karena para penutur mengucapkan varietas yang berbeda tergantung
pada lokasi atau tempat mereka bermukim. Contohnya dapat diambil dari realitas
linguistik bahasa Jawa, salah satunya bahasa yang dipakai orang di pegunungan Tengger
berbeda dari bahasa Banyuwangi. Perbedaan ini bersifat kedaerahan. Karena
itulah ragam bahasa ini disebut dialek regional.
Faktor sosial menunjukkan kedudukan
sosial penutur bahasa. Sebagai contoh, dalam bukunya The Religion of Java (1960, dalam Purwoko et al: 2004), Geertz
membahas bahasa Jawa dalam satu bab “Linguistic Etiquette”. Dalam bab itu,
Geertz berpendapat bahwa perbedaan penggunaan styleme, yang terdiri atas krama,
madya, ngoko, berkaitan erat dengan kedudukan sosial penutur dan bahkan berhubungan
erat pula dengan gaya hidup religiusitas para penutur, yang ia bagi menjadi
priayi santri, dan abangan. Dalam tulisan lain ragam bahasa Jawa disebutkan ada
ngoko, krama, krama inggil (Anderson,
1996: 279).
Pendapat Geertz ini mirip dengan
hasil penelitian Labov (1996, dalam Purwoko et al: 2004; Halliday: 1993)
tentang penggunaan bahasa Inggris oleh penduduk di salah satu kota besar di
Amerika Serikat, yaitu New York. Isu yang dikemukakan pun sama yaitu relevansi
antara penggunaan bahasa dan kedudukan penutur. Disebutkan Labov bahwa dialek
komunitas elit berbeda dari rakyat jelata.
Ragam bahasa yang berkorelasi dengan
kedudukan sosial para penutur disebut dialek sosial. Namun Geertz agak ragu dan
menyebutnya styleme, hal ini karena
Geertz adalah seorang cultural
anthropologist. Dalam studi linguistik, terminologi itu memang asing dan
tidak pernah dipakai orang, melainkan sering disebut fenomena dialek sosial
(Purwoko et al, 2004:10-18). Dalam pengertian lain, dialek sosial merupakan
dialek yang diasosiasikan dengan kelompok sosial dan sebagai simbol untuk
kelompok sosial tertentu (Halliday, 1993: 159, 184).
Faktor historis memperlihatkan
hubungan antara bahasa dan kurun waktu kapan bahasa tersebut dipakai orang.
Corak atau ragam perbedaan bahasa semacam ini disebut dialek temporal atau
dialek historis. Dapat diambil contoh dari bahasa Jawa yang dibedakan menjadi
bahasa Jawa Kuno, Jawa Tengahan, dan Jawa Modern.
Faktor profesi seseorang juga dapat
mempengaruhi ragam bahasa. Perbedaan ragam profesi terletak pada pilihan kata
atau terminologi. Pada umumnya ragam bahasa ini dapat disebut pula menggunakan
istilah register. Contohnya penggunaan istilah H2O oleh ahli kimia untuk
menyebut air.
Faktor kontak bahasa juga sangat
mempengaruhi keterbentukan komunitas linguistik baru. Apabila ada dua bahasa
atau lebih hidup berdampingan di satu tempat maka akan terjadi semacam campuran
penggunaan setiap bahasa itu. Menurut pendapat Bloomfield (1984, dalam Purwoko
et al: 2004), biasanya bahasa yang lemah atau terdominasi cenderung lebih
banyak terpengaruh oleh bahasa yang lebih kuat. Kemudian situasi kebahasaan
akan menghasilkan dua atau lebih ragam bahasa yang secara sosial dianggap
“baik” dan “kurang baik”. Keadaan semacam ini disebut oleh Ferguson sebagai
diglosia (1959, dalam Purwoko et al: 2004; Findlay, 1998). Sebaliknya apabila
dua bahasa yang hidup bersama dalam suatu komunitas mempunyai otoritas dan
kekuatan yang seimbang disebut bilingual atau multilingual (jika lebih dari dua
bahasa).
Ragam
bahasa diregulasi oleh sosial (determinisme sosial) dan juga meregulasi sosial
(determinisme linguistik). Diregulasi oleh sosial maksudnya adalah bahwa ragam
bahasa dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial misalnya konteks sosial dan
struktur sosial. Sedangkan sebaliknya, menurut determinisme linguistik, ragam
bahasa mempengaruhi sosial, misalnya mempengaruhi struktur sosial.
Anti-bahasa dan Anti-masyarakat
Sistem kerja hubungan antara bahasa
dan masyarakat juga berlaku bagi anti-bahasa dan anti-masyarakat. Anti-bahasa
bukan hanya paralel terhadap anti-masyarakat, tapi juga dibentuk oleh
anti-masyarakat. Anti-masyarakat
merupakan suatu masyarakat yang muncul atas kesadaran bermasyarakat
sebagai bentuk alternatif dari masyarakat lazim atau mainstream (Halliday, 1993: 164). Dengan begitu, anti-bahasa
merupakan bahasa yang muncul dalam dan oleh anti-masyarakat sebagai bahasa
alternatif dari bahasa lazim atau mainstream.
Secara prinsip, anti-bahasa memiliki
grammar yang sama dengan bahasa,
namun berbeda dalam perbendaharaan kata; perbedaan dalam perbendaharaan kata
ini tidak secara keseluruhan melainkan hanya pada hal-hal tertentu yang
merupakan pusat aktivitas (karakteristik) subkultur. Bentuk paling sederhana
dari anti-bahasa yaitu kata-kata baru untuk menggantikan kata-kata lama. Contoh
dari anti-bahasa yaitu bahasa kaum gay dan banci yang paralel dengan kehadiran
mereka sebagai anti-masyarakat.
Anti-bahasa seringkali dibuat untuk
melakukan komunikasi tertutup demi menjaga kerahasiaan. Namun tidak menutup
kemungkinan bahwa anti-bahasa awalnya dibuat untuk kontes atau pameran dengan
tujuan menunjukkan bahwa kami adalah
berbeda.
Kehadiran
anti-bahasa dan anti-masyarakat ini dapat dijelaskan menggunakan istilah second life (kehidupan kedua) oleh Podgŏrecki.
Second life merupakan hasil dari
kondisi yang terisolasi, atau hasil dari kebutuhan untuk menertibkan tingkah
laku seksual serta menolaknya sebagai sesuatu yang tidak pantas. Ia menyebutkan
second life muncul dari kebutuhan
untuk menjaga solidaritas di bawah tekanan, dan itu diraih melalui akumulasi
hukuman dan hadiah.
Menurut Podgŏrecki
(dalam Halliday, 1993: 168), second life
adalah rekonstruksi dari individu dan masyarakat yang memiliki struktur sosial
alternatif, bersama sistem nilainya,
sanksi, hadiah dan hukuman. Second
life kemudian mejadi sumber identitas alternatif bagi anggota-anggotanya,
melalui pola-pola penerimaan dan gratifikasinya. Dengan kata lain, second life adalah realitas alternatif,
dan realitas tersebut adalah realitas yang counter-realitas.
Bahasa dan Implikasi Teknologi
Pada hakikatnya teknologi adalah sesuatu yang konkret dan
memiliki fungsi yang jelas sebab ia terbentuk dari sebuah kerangka pengetahuan
yang jelas. Sedangkan bahasa adalah alat kita berkomunikasi. Terkait hal ini,
Ia juga dapat dikatakan sebagai sebuah teknologi sebab bahasa merupakan produk
budaya yang konkret dan mempunyai fungsi. Ia juga memberikan solusi bagi
masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang ada.
Teknologi dan bahasa memiliki hubungan kausal yang sangat
erat dimana teknologi dapat mempengaruhi varietas bahasa, begitu pula
sebaliknya dalam teknologi terdapat bahasa-bahasa tersendiri untuk disandikan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keanekaragaman bahasa antara lain: (1).
Medium teknologi yang digunakan untuk komunikasi seperti telepon, radio,
televisi, computer dsb, (2). Fungsi sosial yang dimunculkan media, (3).
Perubahan historical dan kontemporer.
Setiap teknologi berpotensi untuk memobilisasi bentuk-bentuk
bahasa, tak hanya teknologi komunikasi, teknologi transportasi pun bisa walau
tampak tidak terlalu jelas, contohnya mereka dapat menggiring masyarakat untuk
bermobilisasi sehingga kemungkinan bahwa suatu bentuk bahasa pada varietas
regional dapat berpindah di regional lain.
Teknologi telah menjadi mediator untuk memberikan pengalaman
mengenai apa yang kita lihat dengan pola-pola pemahaman yang kita lakukan
terhadapnya. Salah satu masalah dalam menciptakan jati diri dalam masyarakat
kontemporer adalah hiperrealitas dunia yang muncul pada tempat dimana bahasa
dan simbol dieksperiensasikan. Beberapa cara untuk mengeksperiensasikan bahasa
dan simbol-simbol adalah dengan menggunakan teknologi dari membaca, menulis dan
berpikir. Kata-kata harus didengarkan, buku harus dibaca dan gagasan harus
disebarkan.
Dalam tradisi oral sebagian besar bahasa akan
diartikulasikan dengan bahasa lokal untuk disebarkan melalui kehidupan sosial
dan mengekspresikannya pada pengalaman individu sebab orang-orang yang berada
di luar keanggotaan suatu komunitas akan memiliki hambatan untuk memahami
konteks komunikasi. Sehingga melalui bahasa asli (vernacular language) ini tidak hanya memberi penekanan terhadap
bagaimana cara mempelajarinya tapi bagaimana jenis hubungan yang berkembang
dalam bahasa vernakular ini.
Sebenarnya apa yang terartikulasikan lewat bahasa ini adalah
gambaran dari apa yang ada dalam pikiran kita dan ini semua sudah memiliki
plot-plot (template) khusus. Namun,
perpanjangan tangan oleh media menyebabkan sebuah konstruksi-konstruksi sosial
dalam hal bahasa dimana dalam media bahasa-bahasa tersebut telah termaknai
olehnya sehingga masyarakat hanya berfungsi secara pasif dalam memaknai
teks-teks tertentu.
Tulisan (writing) diperkenalkan
secara perlahan-lahan dalam kehidupan sosial dan sistem pendidikan sehingga hal
ini menjadikannya eksklusif.
Sesungguhnya, pertumbuhan suatu budaya dapat terjadi karena adanya
tantangan kebutuhan yang harus dipenuhi di dalam kehidupan. Kebutuhan akan
tulisan bagi masyarakat tradisional (primitif), dirasakan setelah komunikasi
lisan tidak lagi memadai di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan itu
timbul lah ide-ide sederhana untuk melambangkan setiap apa yang bisa mereka
ucapkan. Tuntutan ini pada awalnya melahirkan bentuk-bentuk lambang sederhana
dan rumit, yaitu dengan cara menggambarkan setiap benda yang diucapkan.
Menulis adalah salah satu
bentuk budaya yang tercipta melalui proses-proses yang disebutkan. Penemuan
lambang-lambang oral (huruf) yang bentuk akhirnya berupa tulisan adalah suatu
prestasi intelektual yang dicapai manusia dalam peradaban masyarakat klasik.
Peralihan sistem komunikasi manusia dari tradisi oral ke tradisi menulis,
sangat mempengaruhi percepatan perkembangan budaya dan perluasan informasi
antar masyarakat dan antar generasi secara lebih otentik dan efektif. Akibat
dari semua itu, tentunya -secara tidak langsung-, akan merubah tatanan
budaya-budaya lainnya ke bentuk yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya.
Dengan demikian penemuan
budaya tulisan dalam sistem budaya suatu masyarakat tidak hanya akan menawarkan
peningkatan dalam lapangan komunikasi saja, akan tetapi lebih jauh akan
mempengaruhi aspek-aspek budaya manusia itu secara keseluruhan. Hal-hal yang
kita sebutkan terbukti dari beberapa kerajaan besar pada zaman purba -seperti
Mesir, Sumeria, Babylonia, Niniveh, China dan lain-lain- yang telah memperoleh
kemajuan yang pesat di bidang peradaban dalam masa 10.000 tahun semenjak mereka
menemukan tulisan. Kemajuan tersebut ternyata lebih besar dari apa yang dicapai
selama Zaman Batu yang berlangsung lebih kurang 2 juta tahun
(Santoso,tt:19-20).[4] Namun, meskipun
menulis dan membaca kontemporer sifatnya personal, tidak bersuara (silent task), dan menjalankan derajat
privasi perkembangannya cenderung lambat.
[1] Lih. Koentjaraningrat, 2009, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 165
[2] Ibid., hlm. 257
[3] Ibid., hlm 261-263
[4]
Disarikan dari blog Irhash A. Shamad: http://irhashshamad.blogspot.com/
Posting Komentar