Oleh:
AG. Eka Wenats Wuryanta
TANTANGAN TEORI
PENCIPTAAN
Perkembangan teori penciptaan
terus bergulir dahsyat. Teori-teori itu bertubi-tubi menerjang konsep iman yang
mapan dan baku. Problem ini tidak baru. Dalam sejarah peradaban dunia
Kekristenan sejak Galileo Galilei, Gereja mencermati perkembangan itu dengan
susah papah, sebelum dapat menerimanya sebagai pelajaran berharga. Sebab
perkembangan yang tidak terelakkan itu memunculkan banyalr goncangan serius
terutama berkaitan dengan iman dan refleksi teologi atas tata penciptaan.
Gereja membutuhkan waktu tiga ratus lima puluh sembilan tahun dan empat bulan
untuk mengatakan bahwa teorl Galileo Galilei benar di satu pihak, dan bahva
pengadilan Inquisisi di masa lampau sekalian dengan vonis
error-nya yang telah dijatuhkan kepadanya tidak memiliki dasar. Pelajaran teori
evolusi juga jelas telah menunjukkan pergumulan hebat.
Stephen W Hawking (1942- ), sang
penentang teori relativitas Einstein, misalnya, mengatakan bahwa Tuhan Sang
Pencipta dan Penyelenggara kehidupan ini sudah tidak diperlukan lagi, setelah ia
memahami proses penciptaan alam semesta dengan segala isinya secara ilmiah.
Baginya semua dapat dijelaskan tanpa campur tangan sosok pribadi yang disebut
Tuhan. Keyakinan itu makin diteguhkan menyusul ancang-ancang teori arnbisiusnya
tentang segala sesuatu, theory of everything.
Reaksi Hawking sebenarnya tidak
baru. Tetapi reaksi ekstrem itu tidak saja menyimpang dari kebenaran inpn latab
Suci, melainkan menabrak secara frontal kepercayaan kepada Tuhan. Refleksi
Hawking menjadi salah satu contoh betapa kemajuan ilmu pengetahuan tentang
penciptaan telah melahirkan tantangan-tantangan dahsyat. Jika pada abad ke-17,
Galileo Galilei menggegerkan dunia karena menebar penemuan ilmiah sekaligus
baru mengenai kebenaran Heliosentrisme yang melawan pandangan kitab Suci “Geosentrisme”
yang menyatakan bahwa bumi sebagai pusat perputaran alam semesta, pada abad
ke-20 seorang profesor Cambridge, Stephen Hawking, menjadi sosok produk ilmu
pengetahuan modern yang karena keyakinan kebenaran ilmiahnya mempersoalkan dan
mendepak sepenuhnya peran Allah dalam tata ciptaan.
Tulisan singkat ini tidak
bermaksud membahas teori Hawking mengenai penciptaan secara khusus walaupun
diajukan pula kutipan singkat penjelasan Hawking sekitar tema penciptaan.
Tulisan ini hanya ingin mencermati satu dua teori yang mencoba menjelaskan
proses penciptaan dan merefleksikannya dalam konteks filsafat. Dan, perbincangan mengenai asal-usul manusia
tidak mungkin dilepaskan dari problem penciptaan pada umumnya.
MENCERMATI SATU DUA
TEORI
Dalam uraian berikut penulis
membedakan sekaligus merinci tiga hal yang dapat dipandang sebagai tiga tahap
persoalan penciptaan: Pertama, proses penciptaan bumi dan alam semesta; kedua,
terjadinya kehidupan di bumi ini untuk pertama kalinya (biogenesis) dan
berkembangnya organisme-organisme dalam bentuknya yang paling sederhana (phylogenesis);
dan ketiga, munculnya manusia (antropogenesis) Sementara hal yang berkaitan
dengan dosa atau evil yang juga menjadi salah satu bahan kontroversi teori
penciptaan dari sudut pandang teologis tidak penulis bahas dalam kesempatan
terbatas ini.
Dari mana bumi kita dan tata dam
semesta yang dernikian mempesona ini berasal? Asal-usul alam semesta menantang
manusia modern sebab ia menjadi daerah penjelajahan iImu pengetahuan yang tiada
batas. G. P. Kuiper (1905-1975) memulai pendobrakannya. Kuiper –yang dikenal
sebagai penemu bulan Uranus, Miranda dan bulan Neptunus, Nereid- mengajukan
teori yang mengasalkan matahari dan semua planet yang menyusun sistem tata
surya kita pada kabut gas purba. Kabut gas purba ini mengalami gerak memutar
dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga membentuk gumpalan-gumpalan materi.
Gumpalan-gumpalan materi sebagai: hasil pemadatan kabut gas inilah yang manjadi
cikal-bakal alam semesta. "Gumpalan" yang besar yang menjadi
"inti" dari semua gumpalan yang lain menjelma menjadi matahari. Kerapatan
gumpalannya begitu rupa sehingga "gumpalan" matahari menyala dengan
api nuklir. Sementara itu gumpalan-gumpalan kabut yang lain terus mengalami
gerak memutar dan terdorong menjauh dengan jarak tertentu dari matahari. Proses
gerak memutar dan penggumpalan kabut gas itu berlangsung ratusan rnilyar tahun
silam.
Teori ini diajukan Kuiper pada
1950-an. Yang menarik dari teori Kuiper ini ialah bahwa alam semesta muncul
tidaklah dalam sekejab, melainkan melewati proses yang sangat lama. Gambaran
teori ini sudah dari sendirinya berbeda dengan apa yang ditulis dalam Kitab
Suci tentang kisah Tuhan yang menciptakan bumi dan segala isinya dalam tujuh
hari (lih. Kejadian 1).
Teori Kuiper tidak cukup meyakinkan.
Dua teori paling terkenal, yang menyusul berikutnya, mengenai pembentukan alam
semesta ialah teori "Keadaan Tetap" (steady-state theoy) dan
"Teori Dentuman Besar" (big bang). Tokoh yang memelopori teori
Keadaan Tetap ialah para ahli kosmologi Inggris: Fred Hoyle (191 5-2001),"
Herman Bondi (1 919-2005), dan Thomas Gold (1920-2004). Sedangkan para ahli di
balik teori Dentuman, mereka adalah ahli fisika Amerika, George Gamow (1904-1968),
yang kemudian didukung oleh Ralph Alpher (1921-2007) dan Robert Herman
(1914-1997).
Teori Keadaan Tetap (steady-state)
menggambarkan alam semesta yang tidak berawal dan tidak berakhir. Alam semesta
lebih kurang bersifat sama dan tetap, bukan hanya di mana-mana, tetapi juga,
setiap saat. Dengan "tetap" tidak dimaksudkan tiada perubahan. Teori
ini mengakui bahwa alam semesta memuai tetapi pemuaiannya berlangsung tetap. Karena
pertambahan alam semesta lewat pemuaian ini berlangsung sampai tidak terhingga
dan tanpa mempedulikan pertambahan massa dan tenaganya, tesis teori Keadaan
Tetap ini dipandang lemah. Teori yang amat menghebohkan dan terus-menerus
dikembangkan dengan penemuan-penemuan menarik ialah teori Dentuman Besar. Teori ini berurusan dengan teori pemuaian alam
semesta, tetapi dengan penjelasan yang berbeda, yaitu dengan ledakan atau
dentuman raksasa.
Secara singkat teori ini dapat
diurai demikian. Teori ini meyakini bahwa alam semesta pernah menyatu berbentuk
satu bola raksasa. Bola ini terdiri dari neutron dan tenaga pancaran yang
disebut dengan "Ylem ("di baca, ailem). Sekitar delapan
belas milyar tahun silam, Ylem ini meledak dengan amat dahsyat.
"Puing-puing" Ylern berterbangan. Karena mengalami pemisahan satu
sama lain, temperatur pada masing-masing puing menyejuk dari suhu
bermilyar-milyar derajat menjadi berjuta-juta derajat saja. Pada waktu inilah
neutron serentak menjadi proton dan elektron. Sementara tenaga pancaran membentulr
atom-atom hidrogen, helium, dan seterusnya, yang dalam eksperimen Stanley
Miller (1953) merupakan unsur-unsur pembangun kehidupan. Dan semua unsur ini,
menurut teori ini, terbentuk setengah jam pertama setelah terjadi dentuman
dahsyat.
Teori ini menjadi sangat menarik
Barena penemuan-penemuan yang menyusul. Pada 1965, Arno Penzias (1934- ) dan
Robert Wilson secara kebetulan menemukan "sisa" dentuman itu. Mereka
menemukan gelombang mikro pang mendesis dengan suhu sampai 2,75 derajat Kalvin,
yang merupakan sisa radiasi ledakannya. Bukti-bukti ini tidak terbantahkan.
Matahari dan planet-planet ldta merupakan "puing-puing" dentuman
hebat. Tetapi teori ini tidak tanpa menyisakan persoalan lain. Jika alam
semesta ini memuai dalam masa pang menyusul setelah ledakan ralrsasa,
bagaimanakah masa depannya?
Penjelajahan solid yang berikut
dilakukan sepenuhnya dengan dalil-dalil teori Relativitas Khusus dan Relativitas
Umum Einstein serta teori Stephen Hawking yang menyempurnakan teori
Einstein. Teori-teori itu dimaksudkan untuk menjelaskan seputar hipotesis
mengenai bentuk alam semesta dengan pengertian tentang ruang dan waktu.'
Persoalan ini menunjuk pada problem hipotesis: Jika dam semesta pernah
merupakan suatu ledakan setelah mengalami masa tertentu, kapan alam semesta ini
akan mengalami peristiwa yang sama. Kapan waktu menemukan akhirnya?
Juga, kapan ruang tidak dapat kita sebut lagi sebagai sungguh-sungguh ruang,
melainkan suatu keadaan yang lain? Persoalan-persoalan itu di luar kompetensi
penulis intuk menjawabnya. Tetapi penulis akan mengutip gagasan Hawking tentang
waktu. Hawking dapat dikatakan sosok ilmuwan murni, yang meletakkan segala
sesuatu pada koridor ilmu pengetahuan. Sejauh benar, valid, sahih menurut ilmu,
ia percayai sebagai benar. Demikian pula sebaliknya. Apa yang salah ialah jika
prosedur ilmiah tidak merekomendasikannya. Hawking membedakan tiga macam waktu.
Atau lebih tepat dikatakan, tiga arah waktu.
Pertama, arah "waktu termodinamika," yang menunjukkan di mana
ketidakteraturan meningkat. Kedua, arah "waktu psikologis,"
yakni arah waktu yang kita rasakan di mana kita dapat mengingat masa lalu dan bukan
masa depan. Ketiga, arah "waktu kosmologis," yang merupakan
arah waktu pengembangan semesta. Penjelasannya adalah waktu ini dimaksudkan
untuk memahami apa artinya awal (asal-mula) alam semesta dan akhir kehidupan
ini. Hawking melihat dan berkesimpulan bahwa, mengenai proses tercipta alam
semesta dan akhir dari semua ini tidak membutuhkan penjelasan yang menyertakan
peran Allah. Tidak ada tempat bagi Allah pang disebut "the Creator' dalam
apa yang merupakan ketentuan hukum alam:
There would be no singularities at which the laws of science broke
down and no edge of space-time at which one would have to appeal to
God or some new law to set the boundary conditions for space-time . .
.The universe would be completely self-contained and not affected by
anything outside itself. It would neither be creatqd nor destroyed. It
would just BE . . . What place, then, for a creator?
Dalam apa yang disebut "waktu
kosmologis," kapan waktu berakhir ketika apa yang kita sebut proses
pengembangan semesta mencapai titik memudar. Jelas tidak mudah diequivalenkan
dengan hitungan waktu psikologis kita, tetapi toh akan terjadi saat di mana alam
semesta ini berakhir. Jika alam semesta -dan dengan demikian juga disadarinya
ruang dan waktu- muncul dari suam bola raksasa neutron dan energi pancaran yang
meledak amat dahsyat, dari manakah kehidupan ini berasal? Dari Tuhan ataukah
dari persenyawaan unsur-unsur kimia yang membangkitkan dasar dasar
kehidupan? Kehidupan memang
mengandaikan alam semesta terlebih dahulu. Sukar dibayangkan apa itu kehidupan
jika tiada alam semesta yang manampungnya.
Stanley Miller (1930-2007),
adalah tokoh di balik penyelidikan bidang ini. Eksperimentasinya memberikan
pengertian baru mengenai apa itu kehidupan: Pada Abad Pertengahan, diakui
formulasi generatio aequivoca, yaitu bahwa hidup dapat terjadi dari zat tidak
berhayat, misalnya cacing dari tanah. Atau, bahwa kehidupan ini terjadi
serentak. Tetapi sejak Louis Pasteur, formulasi itu salah. Eksperimen Pasteur
menunjukkan bahwa hidup hanya berasal dari hidup. Sejak
Pasteur, keyakinan bahwa kehidupan baru dapat dimungkinkan biarpun tanpa campur
tangan Tuhan, mulai menggejala; dan Miller menegaskan dengan teramat ekstrim
bahwa kehidupan tidaklah terjadi sebagai peristiwa kebetulan atau peristiwa
luar biasa atau peristiwa serentak. Kehidupan terjadi secara biasadan
berlangsung beberapa kali dan dengan sendirinya, melalui reaksi kimia spontan
dalam kondisi kondisi bumi awali. Jadi, pada saat untuk pertama kalinya bumi
terbentang, oleh suatu persenyawaan unsur-unsur kimia yang ada pada wvaktu itu,
muncullah benih-benih kehidupan. Miller mengadakan pengulangan reaksi reaksi kimia
yang bersifat reduktif dalam atmosfer buatan (yang tidak ada oksigennya).
Atmosfer buatan dikondisikan seperti atmosfer primitif.
Seperti kita ketahui, atmosfer
prirnitif mengandung gas metan (CH4), uap air (H20), amonia (NH2), dan
hidrogen (H2). Miller merekayasa reaksi berupa ledakan-ledakan dari
unsur-unsur kimia itu. Hasilnya, ia memperoleh sintesis spontan dari banyak
molekul organik, termasuk asam amino. Molekul-molekul inilah yang menandai alam
fundamental kehidupan organisme-organisme. Hasil itu tentu saja sangat mengejutkan,
sebab kehidupan organisme-organisme menemukan wujudnya tidak dari tangan Tuhan,
melainkan berlangsung dalam prosesyang wajar (yaitu dari unsur unsur penyusun
molekul organik)
Proses selanjutnya ialah evolusi
organisme-organisme (phylogenesis). Proses evolusi dari organisme primitif
sampai ke hewan tertinggi, hewan menyusui, membutuhkan waktu yang lama. Proses
perkembangan organisme- organisme itu makin terpacu oleh bakteri-bakteri (alga
biru). Sebab bakteri-bakteri itu mampu meresapkan cahaya matahari dan
memproduksi gula dengan melepaskan oksigen ke dalam atmosfer. Ketersediaan
oksigen memacu organisme-organisme lainnya untuk mengalami proses pembakaran untuk
memperoleh energi. Alam dengan cara yang demikian, organism-organisme yang lain
bermunculan, mengalami proses perkembangan, berevolusi. Waktu yang dibutuhkan
dalam proses evolusi sampai kehadiran organisme bersel satu kurang lebih dua
milyar tahun, dan baru kurang lebih 700 juta tahun silam, mulailah perkembangan
organisme bersel banyak. Binatang bertulang punggung pertama muncul 500 juta
tahun lalu. Sedangkan hewan menyusui 250 juta tahun kemudian. Dan semuanya
dapat sungguh berkembang setelah kepunahan reptil-reptil sekitar 60 juta tahun
lalu. Bagaimana evolusi yang mengagumkan itu dapat dijelaskan? Charles Darwin
menjelaskan dengan teori tentang seleksi: Organisme-organisme selalu mengalami
perubahan kecil sesuai dengan tuntutan alam.
KEHADIRAN MAKHLUK
CERDAS MANUSIA
Problem penciptaan yang sangat
sensitif dan krusial adalah tentang kehadiran manusia. Dari mana manusia hadir?
Semua agama atau suatu kepercayaan religius apa pun akan mengatakan dengan
pasti, bahwa manusia merupakan bentukan Tuhan secara langsung dan istimewa
serta luar biasa. Dernikian Kitab Suci kita membenarkannya dengan kisah-ldsah
penciptaan yang mempesonakan.
Tetapi ilmu pengetahuan yang menyimak
berdasarkan eksperimentasi ilmiah, membongkar kebenaran kisah-kisah itu. Dari
penjelasan-penjelasan di atas, kita dapat langsung mengatakan bahwa manusia,
sebagai bagian dari kehidupan lama semesta ini, berasal pula dari organisme
bersel satu. Sungguh suatu kekuatan alam yang mengagumkan, namun sekaligus juga
menegangkan khususnya dalam kaitan dengan iman, bahwa manusia merupakan mahluk
ciptaan tangan Tuhan berasal dari organisme bersel satu. Bagaimana
menjelaskannya?
Penjelasan tentang asal-usul
manusia (sebagai yang berasal dari organism bersel satu) tidak dapat dilepaskan
dari teori evolusi Darwin. Manusia berasal dari primata. Diketemukan fosil
primata sekitar 10 dan 3 juta tahun yang lalu usianya. Primata-primata pada
waktu itu merupakan primata yang sudah berjalan di atas dua kaki saja. Dengan
demikian dua "kaki" depan menjadi bebas. Dua "kaki" itu
menjadi tangan. kepala tidak lagi digantungkan ke depan, melainkan tegak lurus
ke atas. Mulut tidak lagi sebagai senjata dan alat tubuh untuk memegang (sebab
sudah ada tangan). Dengan demikian otot-otot kuat sekitar kepala
yangmenghindari pertumbuhan otak menyusut dan otak dapat berkembang.
Perkembangan otak merupakan wujud tampilnya suatu mahluk baru, mahluk cerdas, yakni
manusia.
Banyak ahli mengatakan bahwa
kehadiran manusia merupakan loncatan evolusi. Artinya, sukar dibayangkan
manusia dengan segala keunggulan dan keluhuran akal budi, daya wajib etika
moral, martabat eksistensinya, serta cita rasa religiusitasnya merupakan suatu
"hasil" evolusi primat tanpa diakui adanya campur tangan dari kuasa
lain di luar kekuatan seleksi alam.
Teilhard de Chardin dalam fase
ketiga evolusi (fase noosfer) memilah setiap benda/makhluk dalam 2 segi, yakni
segi luar (without) dan segi dalam (within). Bila segi luar sepenuhnya dibangun
oleh seleksi alam, segi dalam perkembangan manusia tidak dapat dipahami jika
hanya disempurnakan oleh alam. Sebab segi dalam perkembangan menyangkut dam
kesadaran, alam batiniah, dimensi psikologis, religius. Segi dalam perkembangan
menyentuh secara karakteristik pada perkembangan evolutif manusia. Hanya manusia
yang mengalami perkembangan from within. Segi dalam manusia tidak hanya menjadi
bagian dari badan manusia, melainkan juga mengatasinya, dan tampil sebagai
kesatuan dunia lain dalam diri manusia.
DAFTAR RUJUKAN
Bergarnini,
David. Alam Semesta. Jakarta: Tiara Pustaka, 1983.
Dahler, Franz
dan Julius Chandra. Asal Dan Tujuan Manusia. Yogyakarta: 2001
Hawking, Stephen
, A Brief of Time. New York: Bantam, 1988.
Henderson,
Jr., Charles P. God and Science: The Death and Rebirth of Theism. John
Snox Press,
1986.
Magnis-Suseno,
Franz. "Evolusi dan Iman." Dalam Seran, Alex dan Embu Henriquez
(peny), Iman dan Ilmzi. Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 3-12.
Smith,
Quentin. "Stephen Hawking* Cosmology
and Theism." Bantam
(1994): 236-243.
Jaki, S.L. Cosmos
and Creator, Edinburg, terutama bab 2 The Cosmos of Science dan bab 3: The
Dogma of Creation, 1980
Nicolas, M.J., Theillhard
and the Problem of Creation, dalam majalah Theological Studies, 1963.
Behe, M., 1996. Darwin's
Black Box: The Biochemical Challenge to Evolution. New York: Free Press.
Darwin, C. 1859. On
the Origin of Species. London: John Murray.
Dawkins, R., 1986. The
Blind Watchmaker. New York, N.Y.: Norton.
–––, 2006. The
God Delusion. New York, N.Y.: Houghton-Mifflin.
Haught, J. F., 1995. Science
and Religion: From Conflict to Conversation. New York: Paulist Press.
Hollum, J. R., 1987. Elements
of General and Biological Chemistry. New York: Wiley.
McMullin, E., Editor.
1985. Evolution and Creation. Notre Dame: University of Notre
Dame Press.
Miller, K., 1999. Finding
Darwin's God. New York: Harper and Row.
Numbers, R L., 1992. The
Creationists: The Evolution of Scientific Creationism. New York: Knopf.
Pennock, R., 1998. Tower
of Babel: Scientific Evidence and the New Creationism. Cambridge, Mass.:
M.I.T. Press.
Posting Komentar